Departemen Statistika, Fakultas Sains dan Matematika (FSM), Universitas Diponegoro (UNDIP) mengadakan kegiatan Visiting Professor Online, dengan pembicara Dr. Roel F. Ceballos dari Department of Mathematics and Statistics, College of Arts and Sciences, University of Southeastern Philippines (USeP), Filipina. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara virtual melalui Zoom. Kegiatan ini diketua oleh Alan Prahutama, S.Si, M.Si, Ph.D selaku dosen Statistika, FSM, UNDIP.
Dr. Roel menyampaikan materi dengan judul A Statistical Operational Framework for Measuring Disaster Preparedness. Dr. Roel menyampaikan materi dengan mengangkat kasus di negara Filipina, yang rentan terkait bencana alam, khususnya Typhoon. Bencana alam, khususnya typhoon, saat ini bisa diprediksi dengan pasti, tetapi kesiapan dalam menghadapi bencana alam tersebut perlu dikaji lebih mendalam, sehingga korban akibat bencana alam bisa diminimalisir. Menurut Dr. Roel diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif dan konsisten untuk mengukur kesiapsiagaan bencana di seluruh wilayah.
Dr. Roel menjelaskan bahwa penelitian ini mendukung beberapa program SDGs (Sustainable Development Goals) diantaranya SDG 1—No Poverty, SDG 11—Sustainable Cities and Communities, dan SDG 13—Climate Action. Dr. Roel menekankan bahwa Kesiapsiagaan bencana yang efektif dibutuhkan bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa—tetapi juga tentang memutus siklus di mana bencana mendorong orang yang terkena bencana untuk menjadi miskin. Dr, Roel menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Factor Analysis for Mixed Data (FAMD) sebagai metode untuk mengukur atau memetakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana di Filipina.
Berdasarkan pendekatan ini dibentuk Disaster Preparedness Index (DPI) yang memetakan wilayah di Filipina menjadi tiga kelompok yaitu High preparedness, Moderate preparedness, Low preparedness. Setiap kelompok memiliki karakteristiknya masing-masing, untuk kelompok high preparedness mempunyai karakteristik antara lain kesiapan pemerintahan lokal yang kuat, infrastruktur yang memadai, dan sistem manajemen risiko bencana yang terorganisir dengan baik. Untuk moderate preparedness memiliki karakteristik antara lain kesiapan dalam menghadapi bencana adalah rata-rata; dasar-dasar pengurangan risiko bencana sudah ada, tetapi menghadapi masalah dalam implementasi, koordinasi, dan infrastruktur. Sementara untuk low preparedness memiliki karakteristik sangat rentan terhadap bencana; infrastruktur yang buruk, sistem pengurangan risiko bencana yang belum berkembang, dan kapasitas darurat yang minim. Dr. Roel menjelaskan bahwa, DPI dapat digunakan untuk alokasi sumber daya, memastikan bahwa daerah dengan kebutuhan terbesar mendapatkan dukungan yang ditargetkan, untuk penargetan kebijakan agar intervensi difokuskan pada area yang paling membutuhkan, dan untuk pemantauan kemajuan guna memantau perbaikan seiring waktu.
Selanjutnya, hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk pemerintah dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pertama, kita perlu memperkuat Kantor Pengurangan Risiko Bencana dan Manajemen Bencana Daerah (Local Disaster Risk Reduction and Management Offices), semisal meningkatkan jumlah staf, memberikan pelatihan berkelanjutan, dan memastikan pendanaan yang memadai. Kedua, kita harus meningkatkan infrastruktur kritis, mulai dari utilitas yang andal dan pusat evakuasi yang dirancang dengan baik hingga jaringan jalan yang aman dan peraturan zonasi yang efektif untuk meminimalkan risiko. Terakhir, pemerintah daerah harus mengadakan latihan bencana secara rutin dan mempertahankan sistem komunikasi peringatan dini yang kuat, sehingga komunitas atau masyarakat tidak hanya menerima informasi, tetapi mereka mampu untuk merespons ketika bahaya terjadi.

